Minggu, 16 Maret 2014

Lontar

Proses pembuatan lontar

Di pulau Bali, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang. Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan.
Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa.
Setelah daun-daun dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah dipotong dan diikat. Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang.
Setelah kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya tetap bagus.
Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembap dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap.
Lalu daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penjepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini dipres selama kurang lebih enam bulan. Namun setiap dua minggu diangkat dan dibersihkan.
Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri harus lebih pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat penulisan nanti.
Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Lontar sekarang siap ditulisi dan disebut dengan istilah pepesan dalambahasa Bali dan sebuah lembar lontar disebut sebagai lempir.

Proses penulisan lontar

Lembaran lontar yang masih kosong.
Setiap lempir lontar yang akan ditulisi, biasanya diberi garis dahulu supaya nanti kalau menulis tidak mencong-mencong. Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu mental dan mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis.
Pisau untuk menulisi lontar.
Lalu lontar yang sudah siap ditulisi ditulisi menggunakan pisau tulis yang di Bali disebut pengropak atau pengutik. Di Jawa Baratdalam bahasa Sunda disebut dengan istilah péso pangot. Sang penulis sebenarnya mengukir aksara pada lempir-lempir lontar ini. Setelah selesai ditulis sebuah lempir, biasanya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan. Cara menghitamkan dilakukan dengan menggunakan kemiri yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Lalu kemiri-kemiri ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi terlihat tajam karena jelaga kemiri. Minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan tinta-tinta garisan. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap dan kadangkala diolesi dengan minyak sereh supaya bersih dan tidak dimakan serangga.
Lalu tumpukan lempir-lempir ini disatukan dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit dengan sepasang pengapit yang di Bali disebut sebagai takepan. Namun kadangkala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan nama kropak di Bali (di Jawa kropak artinya adalah naskah lontar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar